Arahnegeri, Jambi – Aksi damai yang digelar oleh Ikatan Masyarakat Peduli Lingkungan Kota Jambi (IMPL-KOJA) pada Rabu (16/4) di depan kantor Jambi Business Centre (JBC) berujung ketegangan. Demonstrasi yang awalnya berlangsung tertib berubah ricuh setelah massa pendukung JBC memberikan perlawanan keras dan terlibat adu argumen dengan massa aksi.
Dalam orasinya, Koordinator Lapangan Ray Naibaho menyuarakan tiga tuntutan utama:
- Pertanggungjawaban JBC terhadap korban bencana,
- Pertanggungjawaban JBC kepada Pemerintah Kota Jambi,
- Penanggungjawaban terhadap dampak lingkungan di masa depan.
Setelah melakukan orasi, perwakilan IMPL-KOJA diundang untuk melakukan audiensi dengan pihak JBC. Namun, suasana di dalam ruang pertemuan justru memanas. Massa pendukung JBC yang turut hadir dalam audiensi diduga melakukan intervensi terhadap jalannya dialog. Bahkan, sejumlah pernyataan yang dilontarkan dianggap bersifat diskriminatif terhadap massa aksi yang berasal dari luar Jambi.
Salah satu pernyataan kontroversial datang dari Jefri Bintara Pardede, yang mengaku sebagai pembela JBC. Ia menyebut bahwa mahasiswa yang berasal dari Bengkulu tidak memiliki hak untuk melakukan kritik di Jambi.
“Ini Jambi, bos. Bukan Bengkulu. Kalau mau kritik Jambi, ubah dulu KTP jadi KTP Jambi,” ucap Jefri dalam audiensi.
Tidak hanya itu, seorang pria bernama Mahaputra alias Fiet, yang mengklaim sebagai staf dari Kesbangpol Provinsi Jambi, menyatakan bahwa aksi IMPL-KOJA bersifat ilegal karena tidak terdaftar secara resmi di Kesbangpol.
“Komunitas kalian tidak resmi. Ini aksi ilegal,” tegas Mahaputra.
Menanggapi hal tersebut, Ray Naibaho menyampaikan kekecewaannya terhadap sikap yang ditunjukkan oleh oknum Kesbangpol dan pembela JBC.
“Apakah mencari keadilan harus berdasarkan KTP? Di dada Babinsa itu tertulis TNI AD, bukan Tentara Provinsi Jambi. Pernyataan Kesbangpol kami anggap sebagai lelucon yang tidak lucu,” tegas Ray.
Analisis Hukum: Aksi Dijamin Konstitusi
Sikap yang menyudutkan peserta aksi karena asal daerah dinilai bertentangan dengan prinsip negara hukum. Dalam Pasal 28E ayat (3) UUD 1945, ditegaskan bahwa “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.” Tidak ada batasan domisili dalam pasal ini.
Selain itu, UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum menyebutkan bahwa setiap warga negara Indonesia, tanpa kecuali, berhak menyampaikan pendapat di muka umum sepanjang mengikuti prosedur hukum yang berlaku. Tidak ada ketentuan bahwa peserta aksi harus ber-KTP daerah setempat.
Adapun terkait tudingan bahwa organisasi harus terdaftar di Kesbangpol, Mahkamah Konstitusi melalui putusan Nomor 82/PUU-XI/2013 menyatakan bahwa hak berserikat dan berkumpul tidak bisa dibatasi hanya karena belum memiliki status legal formal. Dengan demikian, pernyataan Mahaputra dinilai tidak memiliki dasar hukum yang kuat.
Tuntutan Belum Dijawab, Aksi Akan Berlanjut?
IMPL-KOJA menyayangkan bahwa dalam audiensi tersebut, tidak satu pun dari tiga poin tuntutan mereka mendapat jawaban substansial dari pihak JBC. Massa aksi menilai JBC tidak memiliki itikad baik untuk memberikan klarifikasi terkait dugaan dampak lingkungan yang mereka timbulkan.
Situasi ini menimbulkan kekhawatiran bahwa gejolak serupa bisa terjadi kembali jika persoalan lingkungan dan sosial yang diangkat tidak segera ditangani secara terbuka dan adil.