Arahjambi, Jambi – Dinas Komunikasi dan Informatika (Diskominfo) Provinsi Jambi kembali menjadi sorotan tajam. Kali ini, bukan sekadar persoalan teknis publikasi, melainkan dugaan praktik nepotisme dan ketidaktransparanan dalam alokasi anggaran media.
Sejumlah pihak menilai bahwa dana publikasi yang dikelola dinas ini lebih menguntungkan kelompok tertentu, sementara media independen dan kritis terhadap pemerintah justru tersingkir.
Skema Kerja Sama Media Sarat Kepentingan?
Sejak awal 2025, berbagai media lokal di Jambi mulai mempertanyakan pola kerja sama yang diterapkan Diskominfo dalam pendistribusian anggaran publikasi. Salah satu pemilik media online, Yusri dari Suarajambi.com, secara terbuka meminta transparansi terkait daftar media yang memperoleh kerja sama serta besaran dana yang dialokasikan.
Namun, upaya ini justru menemui kebuntuan. Surat resmi yang dikirimkan kepada Kepala Dinas Kominfo Jambi, Ariansyah, oleh yusri pada 13 Maret 2025, tidak kunjung mendapat tanggapan. Sikap diam ini memicu dugaan bahwa alokasi anggaran publikasi tidak dilakukan secara adil dan hanya menguntungkan media-media tertentu yang pro terhadap kebijakan pemerintah daerah.
Media Kritis Didepak, Media Titipan Melesat
Sejumlah media lokal mengaku bahwa pada tahun ini, mereka mendadak tidak lagi mendapat kerja sama publikasi tanpa alasan yang jelas. Padahal, pada tahun-tahun sebelumnya, mereka selalu masuk dalam daftar media mitra Diskominfo.
Sebaliknya, beberapa media yang sebelumnya tidak begitu dikenal justru mendapatkan porsi anggaran yang lebih besar. Hal ini memunculkan dugaan bahwa Diskominfo hanya menggandeng media yang loyal terhadap kepentingan penguasa.
“Ini bukan lagi soal profesionalisme, tapi soal siapa yang lebih dekat dengan pejabat,” kata seorang pemilik media yang enggan disebut namanya. “Media yang berani mengkritik, langsung di-blacklist.”
Kepala Diskominfo Membela Diri, Tapi Tak Menjawab Esensi Masalah
Ditekan oleh berbagai pihak, Kepala Diskominfo Jambi, Ariansyah, akhirnya buka suara pada 21 Maret 2025. Ia berdalih bahwa sistem pembayaran kerja sama media saat ini telah menggunakan skema e-purchasing melalui platform Parto.id, sesuai dengan Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 2024.
Menurutnya, langkah ini dilakukan untuk menghindari praktik korupsi dan kebocoran anggaran. “Kami tidak lagi melakukan pembayaran manual. Semua sudah terdigitalisasi, sehingga tidak ada istilah media titipan atau diskriminasi,” ujarnya.
Namun, pernyataan ini justru dianggap sebagai pengalihan isu. Sejumlah media menilai bahwa meski sistem pembayaran berubah, keputusan mengenai media mana yang bisa bekerja sama tetap ditentukan oleh pejabat Diskominfo.
“Masalahnya bukan soal e-purchasing atau tidak. Yang jadi pertanyaan adalah, siapa yang menentukan media mana yang boleh bekerja sama? Itu masih subjektif, bukan?” tegas seorang pengamat media di Jambi.
Desakan Audit Independen Menguat
Menanggapi kisruh ini, sejumlah tokoh pers dan Masyarakat di Jambi mendorong dilakukannya audit independen terhadap penggunaan anggaran publikasi oleh Diskominfo. Mereka menuntut agar daftar media yang menerima anggaran dipublikasikan secara terbuka agar tidak ada lagi praktik diskriminatif.
Ketua Persatuan Wartawan Duta Pena Indonesia (PWDPI) Jambi, Irwanda Naufal Idris, menegaskan bahwa ketidaktransparanan anggaran publikasi bisa menjadi celah praktik korupsi terselubung. “Jika tidak ada yang disembunyikan, buka saja datanya. Jangan sampai anggaran ini hanya menjadi bancakan segelintir orang,” ujarnya.
Sementara itu, hingga berita ini diturunkan, pihak Diskominfo masih belum memberikan data yang diminta oleh media. Publik pun semakin bertanya-tanya: benarkah ada permainan gelap dalam pengelolaan anggaran media di Jambi? Ataukah ini hanya ketidakmampuan pemerintah dalam mengelola komunikasi yang baik?