arahnegeri.id Bulan Juni tidak hanya melekat pada kumpulan puisi legendaris Sapardi Djoko Damono yang berjudul ”Hujan Bulan Juni”. Lebih daripada tetesan hujan, Ibu Pertiwi juga meneteskan air mata dengan kepergian raga sang Bapak Proklamator Indonesia, Ir.Soekarno. Tepat pada tanggal 21 Juni 1970, seorang cendekiawan yang lahir di Surabaya pada 06 Juni 1901 yang dikenal sebagai seorang orator,pemikir dan penulis gagasan besar untuk bangsa ini lebih dahulu wafat di usia 69 tahun. Bermula dari Surabaya dan pada akhirnya kini telah menjadi tempat peristirahatan terakhirnya tepat berada di sisi sumber rahim ibunda Ida Ayu Nyoman Rai.
Peristiwa tersebut tidak hanya menguburkan jasad seorang insinyur yang telah merangka desain gagasan besar dan konstruksi bangsa Indonesia kedepan, sekaligus momentum tersebut adalah awal mula erosi yang mengikis pemikiran dan visi besar kenegaraan. Tak hanya jasad yang diantarkan ke kuburan, ide-ide besar Bung Karno perlahan menyusul diantarkan ke liang lahat oleh rezim yang melangsungkan De-Soekarnoisasi. Pengaruh besar oleh Bung Besar, semata-mata tidak mulus diterima oleh rezim setelahnya.
Sebagai pucuk pimpinan saat itu, Bung Karno tidak hanya dipandang sekedar Presiden melainkan adalah seorang arsitek peradaban bangsa Indonesia dengan segala visi besar yang dirumuskan memalui intisari yang terkandung di rahim Ibu Pertiwi. Dengan lahirnya Pancasila, Trisakti, Marhaenisme dan semangat nation and character building adalah wujud pemikiran dan kepemimpinan Bung Karno yang gandrung akan persatuan, senantiasa mencekoki inspirasi dan meradikal moral dan perjuangan rakyat.
Potret kepemimpinan yang dipertontonkan oleh Bung Karno adalah sikap kenegarawanan dan bentuk keteladanan akan ide dan gagasan yang layak dipedomani oleh generasi pimpinan negara Indonesia saat ini yang terjebak dalam pragmatisme. Para elit politik yang boleh disaksikan hingga saat ini tak banyak yang berani dan tegas untuk menunjukkan keberpihakan kepada rakyat kecil melainkan sekedar melanjutkan warisan kekuasaan dan kekuatan politik yang minim akan kebijaksanaan.
Harus kita akui pada era saat ini, semangat reformasi tidak lagi dibumbui dengan semangat perlawanan akan penindasan melainkan jamur krisis jiwa kenegarawanan yang tumbur subur. Aktor politik kita sedang dan lebih sibuk membangun citra politik daripada membangun gagasan untuk bangsa dan negara. Kita sedang berada dalam kondisi yang sulit dalam mencari dan menemukan anak kandung ideologis Bung Karno yang miskin secara materi namun kaya dalam kebangkitan jiwa dan dedikasi. Selain itu, tak banyak dari mereka yang duduk di lingkaran birokrasi yang dapat menafsirkan maksud kenegarawanan Bung Karno yang lantang menunjukkan ketegasan dalam berpihak, keberanian dalam berbicara dan berkorban untuk rakyat.
Lantas apa yang harus kita refleksikan pada momentum haul Bung Karno yang ke-55 tahun ini?
Pada peringatan besar dibulan Bung Karno ini, kita tidak perlu menghitung seberapa banyak elite politik yang mengantarkan karangan bunga dan membersihkan nisan makam Bung Karno seperti yang dilakukan oleh Wakil Presiden Gibran baru-baru ini. Sebab pada haul Bung Karno ini, bukan hanya sebagai langkah simbolik ziarah fisik melainkan juga ziarah pemikiran. Pemikiran yang membangkitkan kembali etos kepemimpinan yang berakar pada visi kebangsaan dan keberpihakan kepada kaum marhaen.
Sekali lagi, kita tidak sedang kekurangan sosok pemimpin. Kita hanya sedang krisis jiwa kenegarawanan. Mata air keteladanan Tak lagi mengaliri sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara di setiap nadi para pemimpin saat ini. Jembatan emas yang telah dibangun oleh para pendiri bangsa ini kelak akan tetap berdiri dengan kokoh apabila semangat dan cita-cita para founding fathers masih hidup dan membara dalam diri kita sebagai arah dan tujuan dalam berbangsa dan bernegara.
Oleh : Ludwig Syarif Sitohang
Ketua DPC GMNI Jambi