Arahnegeri, Jambi – Kampanye besar-besaran Gubernur Jambi Al Haris soal bahaya judi online (judol) kembali digelar dengan gegap gempita. Namun, di balik deklarasi dan pidato panjang di hadapan pelajar, muncul pertanyaan besar: benarkah pemerintah paham akar persoalan, atau sekadar menggugurkan kewajiban moral di depan kamera?
Kegiatan yang dilaksanakan di GOR Kota Baru Jambi, Rabu (16/04), lebih menyerupai seremonial penuh simbolisme ketimbang solusi konkret atas krisis sosial yang menggerogoti generasi muda. Deklarasi oleh siswa dan pidato panjang para pejabat hanya mengulang narasi klasik: salahkan anak muda, salahkan teknologi, tanpa pernah menyinggung kebijakan yang memperparah situasi.
“Anak-anak harus punya prinsip hidup,” kata Gubernur. Tapi, bagaimana mungkin prinsip bisa dibangun di tengah kemiskinan struktural, akses pendidikan yang timpang, dan minimnya fasilitas publik yang sehat untuk anak-anak muda? Pemerintah seolah menutup mata pada realita ekonomi yang membuat remaja mencari pelarian di dunia maya termasuk lewat aplikasi judi.
Alih-alih menyalahkan korban, pemerintah seharusnya introspeksi. Mengapa aplikasi-aplikasi judi bebas berseliweran di ponsel remaja Jambi? Di mana peran pengawasan digital? Di mana ketegasan terhadap penyedia layanan internet dan platform yang memberi ruang bagi praktik ilegal ini?
Ketua DPRD Jambi, M Hafiz, bahkan menyebut judol sebagai “sumber penyakit sosial.” Ironisnya, tak ada satu pun pejabat yang secara konkret menyampaikan langkah hukum, audit teknologi, atau intervensi ekonomi yang bisa mencegah anak muda dari masuk ke lingkaran setan itu. Solusinya selalu normatif: rajin belajar, gunakan waktu luang, dan kuatkan iman.
Kampanye ini pun makin kontradiktif ketika fakta di lapangan menunjukkan minimnya akses terhadap ruang kreatif anak muda, terbatasnya lapangan kerja, hingga mahalnya pendidikan tinggi. Semua itu menjadi pemicu utama mengapa generasi muda merasa terasing dan memilih jalur cepat yang ditawarkan dunia maya.
Sementara itu, deklarasi anti-judi online yang dibacakan siswa hanyalah formalitas belaka. Tanpa pendampingan psikologis, edukasi finansial, dan regulasi digital yang serius, janji itu akan menjadi kosong. Apalagi jika pemerintah hanya hadir saat sorotan kamera menyala.
Sudah waktunya Gubernur dan jajaran tidak hanya memelihara moralitas di podium, tapi hadir secara nyata di tengah krisis. Judi online bukan sekadar persoalan iman atau niat baik. Ini soal sistem yang gagal melindungi warganya dari jebakan teknologi, kemiskinan, dan lemahnya regulasi.
Jika negara tidak mampu hadir di situ, maka seluruh deklarasi anti-judol hari ini tidak lebih dari slogan kosong yang menyalahkan korban sambil mencuci tangan di atas panggung.