arahnegeri.id Zulfikar. PLTU Kalimantan Barat bukan proyek gagal. Ia adalah kejahatan yang disusun rapi, dilegalkan oleh jabatan, dan dibiarkan tumbuh oleh sistem. jum’at (20/06/25)
Rp 1,2 triliun dibakar di tengah jeritan rakyat yang masih bergantung pada genset. Bukan karena listrik sulit,Tetapi karena uangnya lebih mudah dijarah ketimbang dijalankan. tegasnya
Dan aktor utamanya tak selalu berada di panggung utama. Mereka menyelinap lewat pintu belakang , Anak-anak perusahaan BUMN yang kerap tak diaudit, tak diawasi, dan tak disentuh hukum.
Anak BUMN: Tempat Mencuci Dosa dan Menyembunyikan Penjarahan
Struktur perusahaan yang dibuat untuk efisiensi, hari ini berubah jadi labirin mafia birokrasi.
Di sanalah kontrak-kontrak haram diteken.
Di sanalah “pengalihan pekerjaan” dikemas sebagai prosedur.
Dan dari sanalah miliaran rupiah mengalir ke rekening pribadi, bukan ke mesin pembangkit.
Anak BUMN bukan lagi perpanjangan tangan negara,
tapi jadi tangan hantu yang menjarah negara dari dalam.
PLTU Kalbar adalah hasilnya:
Proyek fiktif tapi anggarannya nyata.
Pembangkit mati tapi uangnya hidup.
Audit BPK masuk, tapi hukum belum bergerak.
Pertanyaannya: Di Mana Dirut PLN? Di Mana Negara?
Bagaimana mungkin proyek sebesar ini mangkrak tanpa sepengetahuan induk perusahaan?
Atau jangan-jangan, mereka tahu tapi diam adalah bagian dari skenario?
Jika Dirut PLN tak tahu, dia gagal.
Jika dia tahu tapi diam, dia terlibat.
Dan jika hukum tahu tapi menunda, maka negara ikut bersengkongkol.
Tuntutan: Tak Ada Lagi Ruang Aman
Kita tidak butuh pernyataan normatif.
Kita butuh TINDAKAN HUKUM SEKARANG.
Bukan hanya level teknis, tapi pucuk pimpinan PLN dan anak perusahaannya harus diperiksa.
Karena selama mereka masih duduk di kursi nyaman, korupsi akan terus menyala lebih terang dari listrik yang mereka gagal nyalakan.
PLTU Kalbar bukan soal proyek mati.
Ini soal hukum yang sedang diuji:
Apakah ia berani naik ke lantai paling atas dari struktur kejahatan ini atau cukup puas menghukum sopir dan satpamnya saja.
Penulis : Zulfikar