Menu

Mode Gelap

Hukrim

Skema Sunyi di Balik Sumur Terbakar: Uang Tutup Mulut 30% Mengalir Diam-diam?

badge-check


					Skema Sunyi di Balik Sumur Terbakar: Uang Tutup Mulut 30% Mengalir Diam-diam? Perbesar

Arahnegeri, Batanghari – Aktivitas pengeboran minyak ilegal (illegal drilling) di kawasan Taman Hutan Raya (Tahura) Sultan Thaha Syaifuddin, tepatnya di Dusun Senami, Desa Jebak, Kecamatan Muara Tembesi, Kabupaten Batanghari, kembali menuai sorotan tajam. Selain menimbulkan dampak lingkungan dan korban jiwa, kini mencuat dugaan praktik korupsi berjubah “pemadaman api” dengan skema pembagian fee hingga 30%.

Ledakan hebat yang terjadi di sumur minyak ilegal milik Sitanggang beberapa waktu lalu menambah daftar panjang tragedi di wilayah konservasi tersebut. Hingga berita ini ditulis, kobaran api dari sumur tersebut masih belum berhasil dipadamkan, sementara sumur milik pelaku lain bernama Kiting dilaporkan telah berhasil ditangani dan telah dipasangi garis polisi.

Namun, di balik upaya pemadaman itu, beredar informasi mengejutkan: adanya dugaan kesepakatan antara pemilik sumur dengan kelompok tertentu untuk membayar fee sebesar 30% setelah api padam. Fee ini konon dimaksudkan untuk dua hal: menghapus nama Sitanggang dari Daftar Pencarian Orang (DPO) dan meredam pemberitaan media.

“15 persen untuk media Batanghari, 15 persen lagi untuk yang di Jambi,” ungkap sumber yang meminta identitasnya dirahasiakan, saat diwawancarai belum lama ini.

Pertemuan untuk membahas “deal” ini disebut-sebut berlangsung di Kota Jambi, melibatkan beberapa oknum yang diyakini memiliki kekuatan pengaruh terhadap arus pemberitaan dan pengambilan kebijakan penegakan hukum. Dalam praktiknya, fee tersebut dijanjikan akan dikeluarkan setelah kobaran api dari sumur Sitanggang berhasil dipadamkan — seolah nyawa dan lingkungan dijadikan alat tawar-menawar demi keuntungan kelompok tertentu.

KONDISI LAPANGAN MEMPRIHATINKAN

Investigasi awal di lapangan menunjukkan dampak serius akibat aktivitas illegal drilling di Tahura. Kebakaran sumur tidak hanya mengancam keselamatan warga sekitar, tetapi juga menimbulkan kerusakan ekologis di kawasan hutan lindung. Polda Jambi sendiri telah menetapkan tiga tersangka dalam kasus ini, namun langkah itu dinilai belum cukup menyentuh aktor intelektual dan jaringan pelindung di balik bisnis ilegal ini.

“Setiap ada kobaran api, baru aparat turun. Tapi sumur-sumur tetap muncul lagi. Ini bisnis besar,” ujar salah satu aktivis lingkungan yang enggan disebutkan namanya.

POTENSI KETERLIBATAN OKNUM

Dugaan praktik suap terselubung ini menambah kompleksitas penanganan illegal drilling di Jambi. Modus pembayaran “fee penghapusan DPO” merupakan sinyal bahaya bagi integritas aparat penegak hukum dan kebebasan pers. Bila benar adanya, hal ini mengindikasikan sistem pengawasan yang telah bocor dari hulu hingga hilir.

TUNTUTAN TRANSPARANSI

Desakan publik pun menguat agar aparat penegak hukum, terutama Polda Jambi dan Kejaksaan Tinggi, segera membuka penyelidikan atas dugaan suap dan pemanfaatan media untuk menutup kasus. Pers diminta tetap independen dalam menjalankan fungsi kontrol sosial, tanpa tunduk pada iming-iming maupun tekanan dari pihak berkepentingan.

Jika tidak ditindak serius, skema “fee 30%” dikhawatirkan menjadi preseden buruk dan menciptakan ekosistem impunitas dalam praktik kejahatan lingkungan di Indonesia.

Redaksi masih berupaya menghubungi pihak kepolisian dan instansi terkait untuk mendapatkan konfirmasi resmi.

Baca Lainnya

PT. Agrowiyana Arogan, Wiranto : Kita Duduki Lahan Minggu Depan

22 Mei 2025 - 09:26 WIB

Rumah dan kendaraan Kepala Desa Gunung Agung, Lampung Tengah, Dibakar Massa

20 Mei 2025 - 04:59 WIB

Celebes Bergerak Ajak Warga Kabonena Berani Bersuara Mengenai Kekerasan Seksual

19 Mei 2025 - 05:59 WIB

Gudang Minyak Ilegal Berkedok Bengkel Mobil Milik AGS Terbakar, Warga Dengar Ledakan

16 Mei 2025 - 21:53 WIB

Setelah Putusan Pengadilan, Eksekusi Lahan Perkara di Sibaja Baja Desa Parik Kec. Uluan Kab. Toba Berjalan Lancar

8 Mei 2025 - 10:22 WIB

Trending di Hukrim