Penulis : Shodiq Nurya Habibie
Arahnegeri – Di era desentralisasi, politik di tingkat desa menjadi semakin dinamis. Salah satu fenomena yang tidak bisa diabaikan adalah politik identitas, yaitu penggunaan faktor-faktor identitas seperti etnis, agama, suku, atau kelompok sosial lainnya dalam proses politik.
Di banyak desa, politik identitas kerap mempengaruhi pemilihan kepala desa, kebijakan pembangunan, hingga relasi sosial antarwarga. Namun, bagaimana politik identitas ini bisa dijalankan tanpa merusak keharmonisan dan memecah belah masyarakat? Ini adalah pertanyaan yang semakin relevan di tengah transformasi desa sebagai pusat pembangunan yang inklusif.
Secara historis, identitas-identitas lokal seperti suku, agama, dan adat seringkali menjadi faktor penentu dalam pemilihan kepala desa atau bahkan pembentukan kebijakan desa.
Misalnya, seorang calon kepala desa yang berasal dari kelompok mayoritas etnis atau agama sering mendapat dukungan lebih banyak, sementara kelompok minoritas mungkin merasa terpinggirkan. Hal ini menciptakan ketegangan yang dapat merusak integrasi sosial dan kesatuan komunitas desa yang seharusnya menjadi landasan bagi pembangunan.
Namun, di sisi lain, politik identitas juga tidak sepenuhnya negatif. Di beberapa desa, identitas budaya atau adat bahkan dapat menjadi kekuatan untuk memperkuat solidaritas masyarakat dalam mencapai tujuan bersama.
Misalnya, di daerah yang kaya akan keberagaman etnis dan budaya, politik identitas bisa digunakan sebagai alat untuk memperjuangkan hak-hak kelompok minoritas yang selama ini terabaikan, baik dalam akses terhadap pendidikan, kesehatan, maupun pembangunan ekonomi. Dalam konteks ini, politik identitas berfungsi sebagai sarana pemberdayaan dan partisipasi politik yang lebih luas bagi semua elemen masyarakat.
Lalu, bagaimana kita bisa mencari keseimbangan antara politik identitas dan pembangunan yang inklusif di desa? Kuncinya terletak pada pendidikan politik yang mendorong warga desa untuk memahami pentingnya demokrasi, inklusivitas, dan keberagaman.
Selain itu, kepala desa sebagai pemimpin masyarakat harus memainkan peran yang bijak dalam mengelola perbedaan. Kebijakan yang diambil harus berorientasi pada kepentingan bersama, bukan hanya kelompok tertentu, dan harus mampu mengakomodasi aspirasi dari berbagai elemen masyarakat, tanpa menonjolkan identitas kelompok tertentu secara eksklusif.