Arahnegeri, Jambi – Jambi Business Center (JBC), proyek prestisius yang diharapkan menjadi pusat pertumbuhan ekonomi di Kota Jambi, kini menjadi sorotan tajam akibat dugaan kontribusinya terhadap banjir yang melanda kawasan Simpang Mayang dan sekitarnya. Dibangun oleh PT Putra Kurnia Properti (PKP Group) di atas lahan seluas 7,4 hektar, proyek ini awalnya dirancang sebagai superblok yang mencakup mal, hotel, dan pusat konvensi.
Namun, sejak pembangunan dimulai, warga di sekitar proyek, khususnya di Kelurahan Simpang IV Sipin, Kecamatan Telanaipura, mulai merasakan dampak negatifnya. Puluhan rumah dan fasilitas ibadah, seperti Masjid Amaliyah, terendam banjir setiap kali hujan deras mengguyur. Ketinggian air bahkan mencapai 50 cm, memaksa warga untuk mengungsi dan menghentikan aktivitas sehari-hari.
Ketua RT 09, Widrin, menyatakan bahwa pembangunan JBC telah menghilangkan fungsi lahan rawa sebagai resapan air alami. “Kolam retensi yang dibangun JBC tidak layak dan terkesan hanya formalitas. Ukurannya kecil dan tidak mampu menahan air hujan deras,” ujarnya.
Pemerintah Kota Jambi telah memberikan tiga kali surat teguran kepada pihak JBC terkait ketidakpatuhan terhadap dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal), khususnya dalam pembangunan kolam retensi. Namun, hingga kini, progres pembangunan kolam retensi baru mencapai 25 persen.
Anggota DPRD Jambi, Ivan Wirata, menilai bahwa ketidakpatuhan JBC terhadap Amdal merupakan bentuk pelanggaran serius. “Jika kolam retensi tidak dibuat, ini menunjukkan bahwa pihak JBC tidak taat aturan. Gubernur harus tegas menegur pihak kontraktor,” tegasnya.
Selain masalah lingkungan, proyek JBC juga menuai kritik terkait transparansi dan keselamatan kerja. Pengamat ekonomi dari STIE Jambi menyatakan bahwa proyek ini sejak awal tidak memiliki konsep bisnis yang jelas dan kurang transparan kepada konsumen. Sementara itu, laporan dari Jambi Ekspres menunjukkan bahwa pekerja di proyek JBC bekerja tanpa perlengkapan keselamatan yang memadai, seperti helm dan rompi pelindung.
Gubernur Jambi, Al Haris, mengklaim bahwa lahan yang digunakan untuk pembangunan JBC bukanlah Ruang Terbuka Hijau (RTH), melainkan bekas Kantor Dinas Peternakan Provinsi Jambi. Namun, pernyataan ini tidak menghapus kekhawatiran warga terkait dampak lingkungan yang ditimbulkan.
Krisis yang ditimbulkan oleh proyek JBC mencerminkan perlunya evaluasi menyeluruh terhadap kebijakan pembangunan di Kota Jambi. Pertumbuhan ekonomi tidak boleh mengorbankan keselamatan dan kesejahteraan warga. Pemerintah dan pengembang harus bertanggung jawab penuh atas dampak sosial dan ekologis yang ditimbulkan, serta memastikan bahwa setiap proyek pembangunan mematuhi aturan dan standar yang berlaku.