Arahnegeri, Jambi – Pernyataan Tenaga Ahli Lingkungan Universitas Jambi (Unja), Prof. Aswandi, terkait banjir yang rutin melanda kawasan Simpang Mayang, tepatnya di depan Jambi Business Center (JBC), menuai respons dari kalangan aktivis lingkungan.
Dalam keterangannya yang beredar di media, Prof. Aswandi menyebut persoalan banjir di kawasan tersebut tidak semata-mata disebabkan oleh curah hujan yang tinggi. Ia menilai sistem kanal dan drainase yang sudah usang menjadi penyebab utama terjadinya genangan air.
“Saluran kanal yang ada saat ini merupakan kanal lama. Pada masa pembuatannya, belum ada kajian atau perhitungan hidrologi yang memperhitungkan tingginya curah hujan dalam jangka waktu panjang,” ujar Prof. Aswandi.
Ia menambahkan, rendahnya kemampuan tanah menyerap air (infiltrasi), sedimentasi di dalam kanal, serta penyumbatan akibat sampah memperparah kondisi. Desain drainase yang tidak mengacu pada perhitungan hidrologi dinilainya menjadi bentuk kegagalan dalam tata kelola lingkungan. Untuk itu, ia mendorong dilakukan audit menyeluruh terhadap sistem drainase, kapasitas kanal, serta fungsi kolam retensi di Kota Jambi.
Menanggapi pernyataan tersebut, Koordinator Advokasi dan Kampanye Perkumpulan Hijau (PH) Jambi, Oscar Anugerah, menilai bahwa analisis persoalan banjir tidak bisa dilepaskan dari alih fungsi ruang terbuka hijau (RTH) yang terjadi di kawasan JBC dan sekitarnya.
“Apakah banjir besar seperti kemarin akan terjadi jika fungsi alaminya, berupa hijauan, di kawasan JBC dan Jamtos dipertahankan atau bahkan dikonservasi?” ujarnya dalam pernyataan tertulis.
Oscar mempertanyakan efektivitas mengandalkan sistem drainase yang rentan mengalami pendangkalan akibat sedimentasi dan sampah, dibanding mempertahankan area terbuka hijau yang secara alami mampu menyerap dan menampung limpasan air.
Ia juga menyayangkan adanya pemisahan antara sistem drainase perkotaan dengan kolam retensi milik JBC, mengingat kawasan tersebut merupakan dataran rendah yang ideal dijadikan area resapan.
“Area ini seharusnya menjadi terminal sementara untuk menampung limpasan air sebelum disalurkan ke saluran akhir seperti Danau Sipin. Ini bisa membantu mengontrol laju debit air saat curah hujan tinggi,” tegasnya.
Oscar mendesak pemerintah untuk tidak menyerahkan kawasan tersebut demi kepentingan bisnis segelintir orang. Ia menekankan bahwa wilayah tersebut adalah aset publik yang harus dikembalikan fungsinya demi keselamatan dan hak masyarakat atas lingkungan hidup yang berkelanjutan.
“Kami meminta pemerintah mengembalikan fungsi kawasan itu sebagaimana mestinya, demi kepentingan publik dan keadilan ekologis,” pungkasnya.