arahnegeri.id Bung Tulus, Hari ini, 21 Juni, adalah hari ketika bangsa ini merenung. Bukan sekadar mengenang wafatnya seorang tokoh, tetapi menundukkan kepala di hadapan sejarah: Bung Karno, Sang Proklamator, Bapak Bangsa, telah berpulang pada hari ini, 55 tahun yang lalu. Namun, apakah ajarannya telah berpulang bersama jasadnya?
Bung Karno tidak hanya meninggalkan republik ini dengan merdeka. Ia meninggalkan sebuah amanat besar: Nasionalisme yang membebaskan, Marhaenisme yang membela, dan Revolusi yang tak pernah berhenti.
Di tengah zaman yang penuh komodifikasi politik dan banalitas moral, kita bertanya: Masihkah kita menyebut nama Bung Karno dengan getar keyakinan, atau hanya sebagai nama jalan dan judul pidato seremonial?
Bung Karno pernah berkata, “Bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak melupakan jasa para pahlawannya.” Tetapi lebih dari itu, bangsa yang besar adalah bangsa yang Mewarisi Semangat Para Pahlawannya dalam Tindakan, bukan sekadar dalam upacara.
Hari ini, ketika rakyat kecil semakin terhimpit, kekayaan negeri dijarah segelintir elite, dan semangat persatuan digerus oleh kepentingan kelompok—di sinilah kita diuji:
Apakah kita masih anak ideologis Bung Karno? Ataukah telah berubah menjadi generasi yang memuja kekuasaan dan melupakan perjuangan?
Haul Bung Karno bukan sekadar mengenang, tapi menggugah.
Untuk membaca kembali Sarinah, untuk merenungkan kembali Indonesia Menggugat, dan untuk menghidupkan kembali Marhaenisme dalam kerja, karya, dan keberpihakan.
Mari menjadikan hari ini sebagai momentum perlawanan terhadap lupa.
Karena bangsa yang lupa sejarah, akan mudah dipermainkan masa depan.
Karena Bung Karno tak mati, selama kita terus memperjuangkan cita-citanya.
