Arahnegeri, Jambi – Di balik pernyataan tegas Kepala Dinas Komunikasi dan Informatika (Diskominfo) Provinsi Jambi, Drs. Ariansyah, M.E., yang membantah adanya monopoli dalam proyek pengadaan papan reklame, sejumlah fakta dan suara dari lapangan justru mengarah pada dugaan praktik monopoli yang lebih dalam dan sistematis.
Dalam konferensi pers yang dikutip oleh berbagai media, Ariansyah menyebut bahwa proyek pengadaan billboard melibatkan lebih dari dua perusahaan. Ia menegaskan tidak ada dominasi satu pihak dalam pengelolaan proyek bernilai miliaran rupiah tersebut. Namun, klaim ini justru memunculkan tanda tanya besar di kalangan pelaku usaha lokal dan pengamat anggaran.
Jejak Perusahaan yang Sama, Proyek yang Berulang
Berdasarkan penelusuran dokumen tender tahun-tahun sebelumnya, tercatat pola pengadaan yang mengarah pada keterlibatan perusahaan-perusahaan yang terafiliasi, baik melalui nama komisaris maupun direktur, terhadap satu entitas induk yang sama. Dalam beberapa tahun terakhir, perusahaan-perusahaan tersebut secara bergantian memenangkan proyek reklame yang bersumber dari APBD melalui Diskominfo Jambi.
Seorang narasumber dari internal pemerintah daerah yang enggan disebutkan namanya menyebutkan bahwa “permainan” dalam pengadaan ini bukanlah hal baru. “Sudah menjadi rahasia umum. Yang bermain itu itu saja. Perusahaan hanya ganti nama, orang di baliknya tetap,” ungkapnya.
PPTK Jadi Tameng?
Kepala Dinas Diskominfo menyatakan bahwa tanggung jawab teknis berada pada Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK) dan Kepala Bidang, seolah-olah membebaskan dirinya dari kendali langsung atas proses pengadaan. Namun dalam praktik birokrasi, tidak jarang PPTK hanya menjalankan instruksi atasannya, bahkan dalam hal-hal krusial seperti pemilihan vendor.
“Secara struktural, mustahil kepala dinas tidak tahu siapa yang mengerjakan proyek bernilai besar. Justru tanggung jawab moral dan administratif tetap melekat,” ujar seorang akademisi dari Universitas Jambi yang aktif mengawasi anggaran publik.
Keterlibatan Orang Dalam
Isu yang menyebut adanya ‘orang dekat’ petinggi dinas yang mengendalikan proyek juga belum terbantahkan. Beberapa sumber menyebutkan bahwa pengusaha yang terus-menerus memenangkan proyek merupakan figur yang memiliki hubungan pribadi dengan sejumlah pejabat di Diskominfo.
Bahkan, seorang pengusaha reklame lokal mengaku nyaris tidak pernah punya peluang ikut lelang. “Kalau kita masuk, pasti digugurkan karena alasan administrasi. Tapi kalau perusahaan tertentu, selalu mulus. Kami sudah lelah ikut tender yang seakan formalitas belaka,” ujarnya.
Transparansi Dipertanyakan
Meskipun Ariansyah mengklaim keterbukaan dan kesiapan klarifikasi, hingga kini Diskominfo Jambi belum mempublikasikan daftar pemenang tender dan rincian kontrak pengadaan billboard di laman LPSE atau situs resmi pemerintah daerah secara lengkap dan akurat.
Aktivis Mahasiswa Unja, Alexsanjes Siallagan, menilai proyek billboard Diskominfo harus diaudit menyeluruh. “Bukan hanya bicara jumlah perusahaan yang terlibat, tapi lihat siapa pemiliknya, siapa yang bermain di balik layar,” ujarnya.
Desakan Audit Independen
Menimbang besarnya anggaran dan minimnya informasi publik, sejumlah pihak mendorong agar Inspektorat Daerah maupun Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) turun langsung melakukan audit khusus. Tujuannya bukan sekadar membuktikan atau membantah monopoli, tapi memastikan pengadaan dilakukan adil dan efisien.
“Kalau tidak ada monopoli, seharusnya tidak takut diaudit secara terbuka. Ini uang rakyat, dan masyarakat berhak tahu siapa yang menikmati kue anggaran ini,” tegas Alex.